Mahkamah Agung (MA) melakukan penelitian tentang undang-undang contempt of court. Tidak kurang dari 340 hakim mengaku pernah mengalami pelecehan di pengadilan.
hakim adalah wakil Tuhan di muka bumi. Mereka yang memutus hitam putih suatu perkara. Tetapi siapa menjamin penetapan atau keputusan hakim otomatis akan dipatuhi orang. Mereka bisa saja ditentang jaksa, terdakwa atau kelompok masyarakat.
Tengok saja yang terjadi di Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh. Dalam sidang lanjutan kasus Ketua Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA), Muhammad Nazar, terjadi perang mulut antara jaksa dan penasehat hukum terdakwa. Hakim sebagai pengetua sidang tak bisa berbuat banyak.
Ihwal perang mulut itu bermula dari penetapan majelis hakim tentang pemindahan lokasi tahanan Nazar dari rutan Polda ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Banda Aceh. Jaksa ogah memenuhi penetapan majelis.
Akibatnya, penasehat hukum terdakwa, Darwis, berang. "Saudara jaksa harus mentaati penetapan pengadilan. Kalau tidak, bubarkan saja sidang ini," katanya dengan suara lantang. Pengunjung bertepuk tangan. Sidang pun menjadi gaduh.
Pemandangan serupa bisa ditemukan di Jakarta . Bahkan, advokat senior Adnan Buyung Nasution nyaris tersandung tuduhan pelecehan pengadilan untuk kedua kali. Saat mendampingi Abu Bakar Ba'asyir, Buyung menuding jaksa dan PN Jakarta Pusat menggelapkan barang bukti.
Ucapan Buyung kemudian mendapat reaksi. Buyung dinilai telah melakukan pelecehan pengadilan. Untung, majelis hakim tidak terpancing. "Pengadilan tidak akan menanggapi tuduhan itu," ujar Humas PN Jakarta Pusat, Andi Samsan Nganro.
Dua cerita di atas hanya gambaran kecil fenomena yang terjadi di sejumlah pengadilan di Indonesia . Rupanya, kejadian semacam itu membuat kalangan hakim gerah. "Pelecehan pengadilan semakin marak terjadi belakangan," ujar Susanti Adi Nugroho, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Kapuslitbang) Mahkamah Agung.
Salah satu yang menjadi sasaran adalah pers. Pers dinilai telah ikut menurunkan wibawa pengadilan, termasuk hakim.
Kekhawatiran bahwa liputan pers dan pemberitaan buruk akan berdampak buruk terhadap hakim pernah ditunjukkan oleh hakim M. Ridwan Nasution.
Ridwan mengemukakan, hakim merasa tertekan dengan pemberitaan media massa yang kadang memberi penilaian. Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta itu pun mengusulkan agar pers dilarang meliput persidangan. Meski kemudian dibantah, tak urung gagasan Ridwan memunculkan reaksi dari berbagai kalangan, terutama pers.
Mendapat perhatian MA
Saat itu, muncul gagasan untuk segera mengadakan penelitian mendalam mengenai substansi contempt of court. Kemudian, disepakati pula perlunya langkah-langkah penyusunan RUU contempt of court beserta sosialisasinya ke dalam masyarakat.
Saat itu pula, Rakernas MA berkesimpulan bahwa segala perbuatan, tindakan atau tingkah laku, sikap atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan institusi peradilan sudah termasuk kategori contempt of court. Pelakunya bisa saja dari anggota masyarakat, jaksa, polisi, pengacara, atau hakim sendiri.
Anggota Koalisi Pemantau Peradilan, Dian Rositawati, berpendapat bahwa belum saatnya undang-undang COC dikeluarkan. "Itu belum terlalu signifikan dan mendesak untuk diundangkan," katanya. Menurutnya, jauh lebih penting untuk memprioritaskan pembahasan revisi paket perundang-undangan di bidang peradilan, seperti UU No. 14/1970, UU No. 14/1985, UU No. 5/1986, dan UU No. 5/1991.
Gagasan MA untuk membuat aturan tentang pelecehan pengadilan memang bukan tanpa payung hukum. Istilah contempt of court sendiri sudah tercantum dalam penjelasan Undang-Undang No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung.
Sementara, dalam bukunya Advokat dan Contempt of Court: Satu Proses di Dewan Kehormatan Profesi, Luhut MP Pangaribuan menyatakan bahwa penjelasan UU No. 14/1985 dimaksud menghendaki adanya undang-undang khusus yang mengaturcontempt of court.
Respondennya cuma hakim
Sebuah surat dari Panitera/Sekjen MA tertanggal 7 Januari 2001 mengawali langkah Puslitbang melakukan penelitian tentang contempt of court (COC). Metodenya, dengan menyebar kuestioner kepada hakim-hakim yang bertugas di sejumlah pengadilan. Misalnya di Irian Jaya, Medan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Jawa Tengah, Denpasar, Ujungpandang, Manado dan Jakarta. Total responden berjumlah 611 orang.
Meski pelecehan pengadilan bisa saja dilakukan banyak profesi, responden penelitian hanya hakim. Hasilnya, 533 orang responden menginginkan agar aturan tentang COC dimuat dalam perundang-undangan tersendiri. Sebanyak 27 orang minta agar dimasukkan saja dalam revisi UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sementara lainnya, minta dimasukkan dalam KUHP dan UU Mahkamah Agung.
Keinginan kuat membuat UU COC khusus memang cukup berdasar jika mengacu kepada pengalaman para hakim. Berdasarkan penelitian Puslitbang MA sebelumnya (1999-2000) terhadap 400 responden, mayoritas (340) hakim pernah mengalami pelecehan. Sebanyak 230 hakim mengalami pelecehan antara 1 hingga 5 kali, 41 hakim mengalami 6-10 kali, dan 69 hakim merasakan lebih dari 10 kali.
Bentuk pelecehan yang dirasakan hakim bermacam-macam. Ada yang fisik seperti penganiayaan, dilempari benda, berkelahi, membunuh terdakwa dalam persidangan, mengancam, atau menghadang saksi. Ada pula nonfisik, seperti memaki-maki hakim, menghujat, demonstrasi dan gaduh dalam ruang sidang, atau meninggalkan ruang persidangan.
Berdasarkan naskah akademis yang dikeluarkan MA, ada lima perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai penghinaan atau pelecehan terhadap pengadilan. Kelima perbuatan itu adalah: (i) Berprilaku tercela dan tidak pantas (misbehaving in court); (ii) Tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (disobeying court ordersi); (iii) Menyerang integritas dan impartilitas pengadilan (scandalising the court); (iv) Menghalang-halangi jalannya penyelanggaraan pengadilan (obstructing justice); dan (v) Perbuatan-perbuatan pernghinaan terhadap pengadilan yang dilakukan dengan publikasi atau pemberitahuan (subjudice rule).
Berangkat dari acuan itu, MA berniat menyusun sebuah draf undang-undang tentang pelecehan pengadilan. Memang, hingga saat ini baru sampai tahap draf akademis. Tetapi, Puslitbang MA menyarankan agar COC segera diundangkan demi terselenggaranya proses peradilan yang tertib sekaligus menegakan supremasi hukum. (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8141/menangkal-pelecehan-di-meja-hijau)
Komentar
Posting Komentar