Putusan dibacakan setelah delapan bulan sidang digelar.
Majelis Komisi KPPU akhirnya memutus perkara polemik dugaan
praktik kartel yang membelit dua pabrikan motor terbesar di Tanah Air, Yamaha
dan Honda. Putusan dibacakan setelah delapan bulan sidang digelar.
Secara bulat, Majelis Komisi KPPU memvonis PT Yamaha
Indonesia Motor Manufacturing dan PT Astra Honda Motor bersalah. Karena
terbukti melakukan praktik culas, dan kongkalikong dalam menetapkan harga
sepeda motor jenis skuter matik 110-125cc di Tanah Air.
Majelis Komisi KPPU menyebut Yamaha-Honda sengaja membuat
mahal harga skutik dari banderol sewajarnya, di mana praktik ini tentu
merugikan masyarakat selaku konsumen yang tak bisa mendapat harga kompetitif.
Terlebih kedua merek tersebut saat ini memimpin pasar skutik di Indonesia
dengan menguasai 97 persen pangsa pasar domestik.
Majelis Komisi KPPU membeberkan, Yamaha-Honda terindikasi
saling rangkul, sekongkol mengatur harga demi mendapatkan keuntungan besar.
Dalam istilah bisnis, perilaku ini disebut kartel. Di mana, hal ini dilakukan
untuk mencegah kompetisi, monopoli, dan saling mendapatkan keuntungan.
Yamaha-Honda dianggap telah mengangkangi Pasal 5 ayat 1
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasal itu menyebut, pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas
suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen pada pasar
bersangkutan yang sama.
"Terlapor satu (Yamaha) dan dua (Honda) terbukti secara
sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 5 Tahun 1999," kata
Ketua Majelis Komisi KPPU, Tresna Priyana Soemardi, saat membacakan putusan, di
Kantor KPPU, Jakarta Pusat, Senin 20 Februari 2017.
Keputusan ini diambil berdasarkan fakta-fakta persidangan
yang menghadirkan sejumlah saksi ahli dan berbagai analisis. Sebagai hukuman,
Yamaha-Honda kemudian diganjar hukuman membayar denda kepada negara dengan
besaran berbeda. Yamaha didenda Rp25 miliar, sementara Honda Rp22,5 miliar.
"Denda-denda itu nantinya disetor ke kas negara sebagai
setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha satuan kerja
KPPU, melalui bank pemerintah," kata Tresna.
Selama proses persidangan, Majelis Komisi KPPU menilai
Yamaha telah bersikap sopan, meski sempat melakukan aksi manipulasi data.
Sementara Honda dianggap kooperatif karena memberikan semua data-data yang
diperlukan.
"Selama proses persidangan majelis komisi, menilai
terlapor satu memanipulatif dalam menyajikan data, terlapor satu juga tidak
kooperatif dalam menghadirkan saksi dan menghadirkan presiden direktur,"
ujar Anggota Majelis Komisi KPPU, R Kurnia Sya'ranie.
Pengenaan denda, menurut Kurnia, ditujukan agar ada efek
jera bagi pelaku usaha dan tidak melakukan tindakan serupa atau ditiru produsen
lainnya. Majelis komisi memberikan penambahan denda kepada Yamaha sebesar 50
persen dari proporsi denda, karena terlapor satu dalam proses persidangan
memberikan data yang dimanipulasi. Majelis lalu memberikan pengurangan kepada
terlapor dua sebesar 10 persen dari besaran proporsi denda karena berlaku
kooperatif.
Dasar yang dipakai Majelis Komisi KPPU memutus bersalah
Yamaha-Honda terkait dengan adanya bukti soal perjanjian kerja sama, pertemuan
antarpejabat tinggi di lapangan golf dan adanya bukti surat elektronik pada 28
April 2015, dan 10 Januari 2015. Kata Anggota Majelis Komisi KPPU, Munrokhim
Misanam, pada 10 Januari 2015, ada surat elektronik yang dikirim Yutaka Terada
yang saat itu menjabat sebagai Direktur Marketing YIMM kepada Dyonisius Beti
selaku Vice President Direktur YIMM. Majelis menilai surat elektronik itu
merupakan komunikasi resmi yang dilakukan antarpejabat tinggi YIMM.
"Mengingat pengirim dan penerima e-mail serta media
yang digunakan yaitu e-mail resmi perusahaan, maka majelis komisi tidak
serta-merta mengabaikan fakta itu sebagai alat bukti," ujarnya. (http://fokus.news.viva.co.id/news/read/885836-kontroversi-vonis-kongkalikong-honda-yamaha)
Komentar
Posting Komentar