Oleh :
Sofian Parerungan, SH.,MH*
- PENDAHULUAN
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia[1].
Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child ) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak.
Berdasarkan catatan dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPA) tahun 2011 sebagaimana yang dilansir pada tanggal 19 Januari 2012, sepanjang tahun 2011 KPA menerima 1.851 pengaduan anak yang berhadapan dengan hukum yang diajukan ke Pengadilan di seluruh Indonesia. 52% dari angka tersebut adalah kasus pencurian, diikuti dengan kekerasan, perkosaan, narkoba dan penganiayaan. Sekitar 89,8% berakhir pada pemidanaan atau diputus pidana[2]. Sementara data ditempat tugas Penulis menunjukkan sejak bulan Januari 2011 sampai dengan bulan Oktober 2014 tercatat 60 perkara anak yang diajukan ke Pengadilan Negeri Bangil[3]. Paling tidak dari data-data tersebut menunjukkan banyaknya jumlah anak yang berhadapan dengan hukum dan berakhir didalam penjara.
Terkait dengan itu, dalam mengakomodir prinsip-prinsip perlindungan anak terutama prinsip non diskriminasi yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disingkat UU SPPA) yang merupakan pergantian terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak[4] telah mengatur secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigma terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan si anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam mewujudkan hal tersebut.
Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU SPPA disebutkan bahwa Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Selanjutnya dalam pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Keadilan restoratif yang dimaksud dalam UU SPPA adalah kewajiban melaksanakan Diversi.
Dalam pasal 7 UU SPPA disebutkan bahwa :
Ayat (1) “Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi”.
Ayat (2) “Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan :
- diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
- bukan merupakan pengulangan tindak pidana”.
Oleh karena penerapan diversi merupakan suatu kewajiban, maka menjadi penting bagi pejabat dalam setiap tingkat pemeriksaan untuk benar-benar memahami bagaimana mekanisme penerapan diversi tersebut.
Dalam tulisan singkat ini, Penulis hanya mencoba untuk mengkaji bagaimana penerapan Diversi dalam tahap pemeriksaan dipersidangan, karena undang-undang ini tidak mengatur secara teknis mengenai penerapan Diversi. Pasal 15 UU SPPA menyatakan bahwa Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan proses Diversi, tata cara dan koordinasi pelaksanaan Diversi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Namun hingga saat inipun Peraturan Pemerintah yang dimaksud belum ada.
- PEMBAHASAN
- Definisi dan Tujuan Diversi
Kata diversi berasal dari bahasa inggris Diversion yang berarti “Pengalihan”. Berdasarkan Pedoman Umum Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah, disesuaikan dalam bahasa indonesia menjadi Diversi[5].
Menurut Romli Artasasmita, Diversi yaitu kemungkinan hakim menghentikan atau mengalihkan/tidak meneruskan pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap anak selama proses pemeriksaan dimuka sidang[6].
Dalam Pasal 1 angka 7 UU SPPA disebutkan Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
UU SPPA telah mengatur tentang Diversi yang berfungsi agar anak yang berhadapan dengan hukum tidak terstigmatisasi akibat proses peradilan yang harus dijalaninya. Penggunaan mekanisme diversi tersebut diberikan kepada para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, lembaga lainnya) dalam menangani pelanggar-pelanggar hukum yang melibatkan anak tanpa menggunakan pengadilan formal. Penerapan Diversi tersebut dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam suatu proses peradilan.
Tujuan dari Diversi yang disebutkan dalam pasal 6 UU SPPA yaitu :
- Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
- Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
- Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
- Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
- Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Pelaksanaan Diversi juga harus dengan persetujuan anak sebagai pelaku kejahatan, orang tua atau walinya serta memerlukan kerja sama dan peran masyarakat sehubungan dengan adanya program seperti: pengawasan, bimbingan, pemulihan, serta ganti rugi kepada korban.
Proses Diversi wajib memperhatikan: kepentingan korban; kesejahteraan dan tanggung jawab Anak; penghindaran stigma negatif; penghindaran pembalasan; keharmonisan masyarakat; dan kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
- Beberapa Teori Pemidanaan Yang Terkait Dengan Diversi
Dalam pembahasan ini, akan diuraikan beberapa teori pemidanaan dan tujuan sebenarnya untuk apa pemidanaan itu dijatuhkan. Menurut Wirdjono Prodjodikoro tujuan pemidanaan adalah untuk memenuhi rasa keadilan[7]. Dalam hukum pidana, teori pemidanaan dibagi dalam 3 (tiga) golongan yaitu :
- Teori absolut (vergeldingstheorien) yang dianut oleh Immanuel Kant berpandangan tujuan pemidanaan sebagai pembalasan terhadap para pelaku karena telah melakukan kejahatan yang mengakibatkan kesengasaraan terhadap orang lain atau anggota Masyarakat[8].
- Teori relatif (doeltheorien) dilandasi tujuan (doel) sebagai berikut[9]:
- Menjerakan dengan penjatuhan hukuman diharapkan pelaku atau terpidana menjadi jera dan tidak lagi mengulangi perbuatannya dan bagi masyarakat umum dapat mengetahui bahwa jika melakukan perbuatan tersebut akan mendapatkan hukuman yang serupa.
- Memperbaiki pribadi terpidana dalam perlakuan dan pendidikan yang diberikan selama menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatan dan kembali kepada masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna.
- Teori Gabungan/modern (Vereningingstheorien) yang penganutnya adalah Van Bemmelen dan Grotiusyang menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukurdan ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat[10].
Teori lainnya yang terkait dengan pemidanaan adalah yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dalam pandangan Utilitarianisme, bahwa pemidanaan harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan kerasnya pidana tidak boleh melebihi jumlah yang diperlukan untuk mencegah dilakukannnya penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya dibenarkan apabila ia memberikan harapan agar tidak terjadi kejahatan yang lebih besar[11].
Berdasarkan beberapa teori-teori pemidanaan diatas, maka dapat dikatakan bahwa pada dasarnya Diversi mempunyai relevansi dengan tujuan pemidanaan anak, yang mana nampak dari hal-hal sebagai berikut :
- Diversi sebagai proses pengalihan dari proses yustisial ke proses non yustisial, bertujuan menghindarkan anak dari penerapan hukum pidana yang seringkali menimbulkan pengalaman yang pahit berupa stigmatisasi (cap negatif) berkepanjangan, dehumanisasi (pengasingan dari masyarakat) dan menghindarkan anak dari kemungkinan terjadinya prisionisasi yang menjadi sarana transfer kejahatan terhadap anak.
- Perampasan kemerdekaan terhadap anak baik dalam bentuk pidana penjara maupun dalam bentuk perampasan yang lain melalaui meknisme peradilan pidana, memberi pengalaman traumatis terhadap anak, sehingga anak terganggu perkembangan dan pertumbuhan jiwanya. Pengalaman pahit bersentuhan dengan dunia peradilan akan menjadi bayang-bayang gelap kehidupan anak yang tiak mudah dilupakan.
- Dengan Diversi tersebut maka anak terhindar dari penerapan hukum pidana yang dalam banyak teori telah didalilkan sebagai salah satu faktor kriminogen, berarti juga menghindarkan anak dari kemungkinan menjadi jahat kembali (residive), menghindarkan masyarakat dari kemungkinan menjadi korban akibat kejahatan.
- Dengan Diversi akan memberikan 2 (dua) keuntungan sekaligus terhadap individu anak. Pertama; anak tetap dapat berkomunikasi dengan lingkungannya sehingga tidak perlu beradaptasi sosial pasca terjadinya kejahatan. Kedua; anak terhindar dari dampak negatif prisionisasi yang seringkali merupakan sarana transfer kejahatan[12].
- Penerapan Diversi Dalam Persidangan Anak
Menurut ketentuan Pasal 7 UU SPPA, Diversi hanya dapat dilaksanakan kepada anak yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana (residive). Hal ini sangat perlu diperhatikan untuk memperkecil potensi pemaksaan dan intimidasi pada semua tahap proses diversi. Seorang anak tidak boleh merasa tertekan atau ditekan agar menyetujui program-program diversi. Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.
Terkait penerapannya dalam pemeriksaan dipersidangan diatur dalam pasal 52 UU SPPA yang menyebutkan :
- Ketua pengadilan wajib menetapkan Hakim atau majelis hakim untuk menangani perkara Anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara dari Penuntut Umum.
- Hakim wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai Hakim.
- Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari.
- Proses Diversi dapat dilaksanakan di ruang mediasi pengadilan negeri.
- Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Hakim menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.
- Dalam hal Diversi tidak berhasil dilaksanakan, perkara dilanjutkan ke tahap persidangan.
Mencermati pengaturan tentang penerapan diversi diatas menarik untuk dibahas beberapa hal sebagai berikut :
Pemanggilan untuk pelaksanaan Diversi
Dalam ayat (2) ditentukan bahwa “Hakim wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai Hakim”. Dengan demikian maka pada saat berkas perkara diterima oleh hakim anak, maka dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari harus segera melaksanakan Diversi. Hal ini membawa konsekuensi bahwa hakim selekas mungkin menetapkan hari Diversi dan didalam penetapan hari diversi agar memerintahkan Penuntut Umum untuk menghadirkan Anak, Orang tua/wali, Penasihat Hukum, Anak Korban, Orang Tua/Wali korban[13], Petugas Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial, Tenaga Kesejahteraan Sosial, Perwakilan Masyarakat (RT/RW/Kepala Desa/Tokoh Masyarakat/Agama). Sedangkan untuk saksi-saksi lainnya dipanggil kemudian jika Diversi gagal dan persidangan dilanjutkan.
Kehadiran korban pada saat sidang pertama adalah untuk kepentingan pelaksanaan Diversi, bukan untuk didengar keterangannya dipersidangan sebagai saksi korban sebagaimana pemeriksaan perkara pidana umumnya dalam tahap pembuktian. Oleh karena itu apabila pada sidang pertama pihak-pihak yang dipanggil diatas telah hadir maka hakim anak dapat langsung melaksanakan diversi hingga terhitung paling lama 30 (tiga puluh) hari kedepan. Pelaksanaan diversi dapat dilaksanakan di ruang mediasi Pengadilan Negeri tersebut.
Mengenai Penahanan
Selanjutnya terkait dengan penahanan, apakah dalam proses diversi penahanan terhadap anak tetap diperhitungkan?, karena jika demikian maka masa penahanan akan habis dan Anak dapat dikeluarkan demi hukum. Jawabannya tentu tidak!, karena berdasakan ketentuan pasal 7 UU SPPA secara limitatif telah ditentukan bahwa diversi hanya dapat diterapkan kepada anak yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana (residive). Ketentuan tersebut apabila dihubungkan dengan syarat penahanan terhadap anak yang diatur didalam pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) yang menyebutkan bahwa :
- Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.
- Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut:
- Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan
- Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.
Dengan demikian jika kembali pada persoalan terkait proses Diversi dan penahanan, maka dapat dipastikan bahwa proses Diversi hanya dapat dilakukan terhadap Anak yang tidak ditahan, karena Anak yang dapat ditahan adalah yang diduga melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih, sedangkan proses Diversi hanya diterapkan terhadap Anak yang diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun[14].
Hal lainnya yang dapat saja terjadi adalah sebagaimana yang diatur didalam pasal 3 PERMA No. 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa hakim anak wajib mengupayakan diversi dalam hal anak didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidaritas, alternatif, kumulatif, maupun kombinasi (gabungan). Misalnya dakwaan subsidaritas Primair : Pasal 354 ayat (1) KUHP (ancaman penjara 8 tahun), Subsidair : Pasal 351 ayat (2) KUHP (ancaman penjara 5 tahun), Lebih Subsidair : Pasal 351 ayat (1) KUHP (ancaman penjara 2 tahun 8 bulan).
Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana dengan penahanannya?, karena pasal yang didakwakan memenuhi syarat penahanan, sedangkan disisi lain diversi wajib dilaksanakan. Hal ini tidak diatur lebih lanjut didalam PERMA, namun demikian karena diversi wajib dilaksanakan, maka dalam pemeriksaan dipersidangan hakim dapat menggunakan kewenangannya untuk tidak melakukan penahanan terhadap anak.
Jangka Waktu Pelaksanaan Diversi
Mengenai jangka waktu pelaksanaan Diversi dipersidangan, diatur dalam Pasal 53 UU SPPA yang menyebutkan bahwa diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Dalam prakteknya, bisa saja setelah lewat 30 (tiga puluh) hari atau setelah persidangan berlangsung ternyata pihak korban dan Anak memperoleh kesepakatan untuk berdamai, bagaimana sikap hakim terhadap hal itu?. Menurut Penulis, hakim terlebih dahulu melihat bentuk perdamaian yang dibuat, jikalau sifatnya hanya memaafkan kesalahan Anak namun menginginkan proses hukum tetap berjalan, maka sikap hakim adalah tetap melanjutkan persidangan. Adapun pemberian maaf dari korban/keluarganya akan dipertimbangkan sebagai hal-hal yang meringankan Anak dalam menjatuhkan hukumannya. Apabila dalam perdamaiannya pihak korban meminta agar proses pemeriksaan perkaranya dihentikan, maka adalah lebih bijak jika perkara tersebut dihentikan oleh hakim dan hakim menyampaikan Berita Acara Diversi beserta Kesepakatan Diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk diterbitkan Penetapan. Hal ini kiranya sejalan dengan jiwa UU SPPA yang megendepankan restoratif justice melalui diversi.
Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Mengenai Hasil Diversi
Hal lainnya yang menarik untuk dibahas adalah mengenai Penetapan Ketua Pengadilan Negeri mengenai hasil Diversi. Hal ini diatur dalam pasal 12 yang menyebutkan bahwa :
- Hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dituangkan dalam bentuk kesepakatan Diversi.
- Hasil kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh atasan langsung pejabat yang bertanggungjawab di setiap tingkat pemeriksaan ke pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan.
- Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan Diversi.
- Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan.
- Setelah menerima penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau Penuntut Umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan.
Dari ketentuan diatas, khususnya ayat (2) jelas bahwa hasil Diversi harus disampaikan oleh atasan langsung yang bertanggung jawab disetiap tingkat pemeriksaan (artinya dalam proses penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan dipersidangan) kepada Pengadilan Negeri untuk diterbitkan Penetapan dan secara institusional pejabat yang berwenang menerbitkan Penetapan adalah Ketua Pengadilan Negeri didaerah hukumnya.
Dalam tingkat penyidikan dan penuntutan, Penyidik dan Penuntut Umum harus menyampaikan hasil diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang untuk selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri akan menerbitkan penetapan dan berdasarkan penetapan tersebut, maka Penyidik akan menerbitkan penetapan penghentian penyidikan, sedangkan Penuntut Umum akan menerbitkan penetapan penghentian penuntutan.
Sedikit melihat kembali pengaturan tentang SP3, dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang menyatakan: “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya”.
Selanjutnya berdasarkan KUHAP, ada 2 (dua) alasan sebagai dasar Penuntut Umum melakukan penghentian penuntutan yaitu penghentian penuntutan karena alasan tekhnis dan penghentian penuntutan karena alasan kebijakan[15]. Wewenang tidak menuntut karena alasan tehknis yaitu karena adanya 3 (tiga) keadaan sebagaimana diatur dalam Pasal 140 ayat 2 huruf a KUHAP, sebagai berikut :
- Kalau tidak cukup bukti-buktinya ;
- Kalau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana ;
- Kalau perkara ditutup demi hukum ;
Wewenang tidak menuntut karena alasan kebijakan oleh karena Jaksa diberi wewenang untuk mengesampingkan perkara. Wewenang tersebut dijalankan demi kepentingan umum, kepentingan individu dan asas opportunitas. Dalam KUHAP tidak dijelaskan secara eksplisit, namun dalam penjelasan pasal 77 KUHAP tersirat bahwa wewenang Jaksa Agung itu diakui, yaitu untuk menyampingkan perkara[16].
Penetapan Ketua Pengadilan Negeri mengenai Diversi dalam tahap pemeriksaan dipersidangan diatur dalam pasal 52 ayat (2) “Hakim wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai Hakim”. Ayat (3) “Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari”. Ayat (5) “Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Hakim menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan”.
Dalam ayat (5) mengatur bahwa hakimlah yang menyampaikan hasil Diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk diterbitkan Penetapan.
Selanjutnya bagaimana dengan isi/substansi dari penetapan yang diterbitkan oleh Ketua Pengadilan Negeri?. Penetapan yang dimaksud merupakan hal yang baru dan berbeda dengan penetapan-penetapan yang ada sebelumnya karena menyangkut status perkara a quo. Menurut Penulis, isi/substansi Penetapan pada pokoknya menetapkan agar para pihak melaksanakan hasil Diversi, kepada pejabat yang menangani perkara tersebut agar segera menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atau Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atau Penetapan penghentian pemeriksaan terhadap perkara a quo dan memerintahkan Panitera untuk mengirimkan salinan penetapan tersebut kepada pihak-pihak yang bersangkutan (Penyidik, Penuntut umum, Hakim, Pembimbing kemasyarakatan).
Persoalan lainnya yang dapat saja muncul adalah, bagaimana jika hasil kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan sementara perkara tersebut telah dihentikan prosesnya, misalnya pelaku harus membayar sejumlah ganti kerugian kepada korban tetapi pelaku kemudian tidak mampu membayar, apakah perkara tersebut dapat dibuka kembali proses hukumnya?, menggunakan instrumen hukum perdata atas dasar wanprestasi tentu akan menyita waktu yang cukup lama, sehingga bisa jadi menggangu psikologis anak karena selalu dikaitkan dengan persidangan. Berdasarkan ketentuan pasal 13 huruf b menyatakan bahwa proses peradilan dilanjutkan jika kesepakatan diversi tidak dilaksanakan. Pasal 14 ayat (3) menyebutkan Dalam hal kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, Pembimbing Kemasyarakatan segera melaporkannya kepada pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selanjutnya dalam ayat (4) Pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menindaklanjuti laporan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah bagaimana mekanismenya jika persidangan dibuka kembali?, hal ini perlu diatur lebih jauh dalam Peraturan Pemerintah tentang Prosedur Pelaksanaan Diversi ataupun dalam petunjuk teknis dari masing-masing tingkatan, baik penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan dipersidangan.
Pertanyaan selanjutnya, kepada siapa biaya perkara dibebankan, apakah kepada Anak atau kepada negara?, hal ini juga belum jelas diatur, menurut pendapat Penulis, melihat tujuan dari Undang-undang ini yang berorientasi pada perlindungan hak-hak anak, maka seyogianya jikalau tercapai Diversi, maka negaralah yang patut dibebani untuk membayar biaya perkara a quo. Pendapat lainnya menyatakan bahwa oleh karena proses diversi belum menyentuh materi persidangan, sehingga mengenai pembebanan biaya perkara tidak perlu dicantumkan didalam penetapan diversi. Hal ini masih menjadi perdebatan dikalangan hakim.
- PENUTUP
- Kesimpulan
- Dari pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa peradilan anak di Indonesia ialah merupakan peradilan khusus dari bagian sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia. Oleh karena bersifat khusus maka peradilan anak dipisahkan dengan peradilan bagi orang dewasa. Salah satu yang membuat sifatnya khusus adalah penerapan Diversi. Ini dipertegas dalam UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
- Diversi wajib dilaksanakan dalam setiap tingkatan pemeriksaan, baik penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dipersidangan, apabila proses Diversi berhasil sebelum tahap persidangan maka Penyidik dan Penuntut Umum menyampaikan hasil Diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat Penetapan dan berdasarkan Penetapan tersebut Penyidik dan Penuntut Umum dapat menerbitkan SP3 (surat Perintah Penghentian Penyidikan) dan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP). Apabila proses Diversi berhasil dalam tahap persidangan maka Berita Acara dan hasil Diversi diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat Penetapan penghentian perkara tersebut.
- Saran
- Oleh karena Diversi merupakan hal baru dalam UU SPPA, maka perlu dilakukan sosialisasi secara komprehensif bagi para penegak hukum khususnya Hakim Anak yang ditugaskan untuk menyelesaikan perkara pidana anak secara tepat dan adil, disamping memperhatikan kondisi korban juga agar Anak tersebut tidak merasa kehilangannya haknya sesuai dengan apa yang telah diatur dalam undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
- Perlu bagi Mahkamah Agung RI untuk memberikan pendidikan dan pelatihan sertifikasi bagi hakim anak secara optimal dan berkesinambungan mengenai penerapan Diversi dalam pemeriksaan dipersidangan, karena masih banyak hakim yang belum mengikuti sertifikasi hakim anak walaupun sudah memiliki SK hakim anak dari Ketua Mahkamah Agung RI.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku :
Darji Darmodoharjo & Sidharta. 1999. Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama;
Ilyas Amir. 2012, Asas-Asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan (Diserati Teori-Teori Pengantar dan Beberapa Komentar), Yogyakarta: Rangkang Education & Pukap Indonesia ;
Irwansyah. 2011. Kumpulan Bahan Kuliah S2 Filsafat Hukum, Program Pascasarjana, Fak. Hukum, Unhas, Makassar ;
Marlina. 2012. Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
Prakoso, Abintoro. 2013. Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Surabaya: Erlangga.
Prodjodikoro, Wirdjono. 2005. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika.
Praja, Juhaya S. 2011. Teori Hukum dan Aplikasinya, Bandung : Pustaka Setia.
Wahyudi, Setya. 2010. Implementasi Ide Diversi : Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Jogyakarta: Genta Publishing.
Undang-undang :
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Internet :
* Hakim Pengadilan Negeri Bangil
Komentar
Posting Komentar