
Oleh M. Fuad Nasar
Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH, seorang pejuang hukum Islam dalam pembentukan hukum nasional dan semasa hidupnya menjabat Ketua Muda Mahkamah Agung Republik Indonesia memberi perumpamaan menarik mengenai filosofi hubungan hukum dan masyarakat yang sangat baik direnungkan, “Hukum itu dapat disamakan dengan udara bagi hidup manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, yang kalau udara itu tidak lancar dan tidak bersih, masyarakat akan merasakan tidak enak dan keresahan akan timbul.”
Sejalan dengan makna ungkapan di atas kehidupan berbangsa dan bernegara membutuhkan supremasi hukum agar terhindar dari sumber kekacauan dan praktik “hukum rimba”. Negara kita sebagaimana digariskan oleh founding fathrerssejak tahun 1945 bahwa negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Di negara yang benar-benar negara hukum sebagai landasan ketertiban masyarakat tidak seorang pun yang kebal hukum. Begitu pula kekuasaan pemerintah dibatasi oleh norma-norma hukum dan diawasi oleh masyarakat.
Bung Hatta dalam orasi ilmiahnya berjudul Menuju Negara Hukum (1975) berpesan, keinsyafan hukum dalam masyarakat dan rasa tanggungjawab sangat diperlukan untuk mempercepat tumbuhnya negara hukum yang sempurna. Sejalan dengan tumbuhnya negara hukum, maka kedaulatan hukum akan menggantikan kekuasaan penguasa.
Hukum, hakim dan keadilan merupakan trilogi yang tidak dapat dipisahkan dalam teori maupun praktiknya. Demikian pula antara hukum dan agama terdapat hubungan yang sangat erat semenjak masyarakat mulai mengenal sejarah hukum. Tujuan hukum menurut Al Quran adalah seperti diungkapkan Dr. H. Abdoerraoef, S.H. dalam bukunya Al-Qur’an dan Ilmu Hukum (1970) adalah supaya manusia berbuat baik dan jangan berbuat jahat dalam masyarakat.
Dalam konteks penegakan hukum sebagai unsur kestabilan masyarakat dan negara, jabatan yang paling berat tanggungjawabnya ialah hakim. Dalam khazanah literatur fiqih, hakim disebut qadhi. Hakim atau qadhi menjalankan tugas mengadili dan memutus perkara di pengadilan, namun tidak sembarang orang bisa diangkat menjadi qadhi.
Dari kacamata agama keutamaan tugas hakim tergambar dalam firman Allah Swt, “Jika kamu menghukum, putuskanlah hukum di antara manusia dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al Maidah [5]: 42). Dalam ayat Al Quran digambarkan bahwa hakim yang adil akan memperoleh kehormatan di sisi Tuhan. Sementara itu hakim yang menyeleweng dari keadilan, memperjual-belikan perkara, menerima suap, terlibat mafia hukum dan sebagainya akan menghadapi siksaan di akhirat. “Adapun orang-orang yang tidak berlaku adil, mereka itu menjadi kayu api bagi neraka jahannam.” (QS Al Jinn [72]: 15).
Nabi Muhammad Saw menyatakan dalam hadis, “Qadhi-qadhi (hakim) itu ada tiga golongan, dua golongan di dalam neraka dan satu golongan di dalam surga. Nabi menyatakan secara garis besarnya kesalahan yang dapat membawa seorang hakim ke neraka dan sifat-sifat hakim yang akan mendapat keselamatan dan kebahagiaan di dalam surga akhirat.
Menurut Rasulullah, dua golongan hakim yang akan terjerumus masuk neraka ialah; Pertama, hakim yang telah mengetahui kebenaran dan keadilan, tetapi dia menyeleweng atau berbuat zalim dalam kekuasaan hukum yang dipercayakan kepadanya. Kedua, hakim yang menjatuhkan hukum tanpa pengetahuan tetapi malu untuk mengatakan bahwa ia tidak mengetahui tentang hakikat persoalan yang sedang dijatuhinya putusan hukum. Adapun golongan hakim yang dikatakan oleh Rasulullah akan masuk ke surga ialah yang melaksanakan kebenaran dan keadilan dalam kekuasaan hukum yang diamanatkan kepadanya.
Dalam sejarah ditemukan riwayat Nabi Muhammad memberi amanat kepada Ali bin Abi Thalib sebelum memangku jabatan hakim di Yaman. Rasulullah berpesan kepada Sayidina Ali sebagaimana dinukilkan oleh Iman Al Mawardi dalam kitab yang terkenal Al Ahkaamus-Sulthaniyah sebagai berikut, “Apabila engkau menghadapi dua pihak yang berperkara, janganlah engkau menjatuhkan putusan bagi salah seorangnya sebelum engkau mendengarkan keterangan yang lainnya.”
Adil merupakan salah satu sifat Tuhan yang diperintahkan kepada manusia agar mengikuti dan membumikannya dalam batas-batas yang mungkin dicapai dengan sifat insaniah. Umat Islam wajib menegakkan keadilan dan menjadi saksi kebenaran karena Allah. Sesuai pesan Al Quran surat Al Maidah ayat 8, berlaku adil-lah karena perbuatan adil itu lebih dekat kepada takwa. Bahkan diperingatkan, janganlah kebencianmu kepada suatu kaum menghalangimu dari berlaku adil. Para ahli sejarah mencatat pernyataan Khalifah Ali bin Abi Thalib mengenai makna berbuat adil ialah, “memberikan kepada seseorang apa yang menjadi haknya dan mencabut dari seseorang apa yang bukan haknya.”
Sebuah ungkapan menyebutkan, menegakkan hukum tidak boleh dilakukan dengan melanggar hukum. Pernyataan ini tepat sekali dan ada rujukannya dalam khazanah teori hukum Islam yaitu putusan hakim atas kejahatan pidana atau disebut “hadd” dalam fiqih Islam jangan dijatuhkan kalau masih terdapat syubhatartinya kesangsian atau keraguan. Salah satu prinsip yang digariskan dalam Islam bahwa kekhilafan hakim dalam membebaskan lebih baik daripada kekhilafan dalam menjatuhkan hukuman. Di sini tampak betapa keagungan hukum Islam melindungi manusia dari hukum yang sewenang-wenang serta dari kecerobohan hakim.
Kekuasaan kehakiman dalam negara adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Sesuai tuntutan hakiki di dunia peradilan bahwa hakim harus menemukan keadilan di antara kebenaran materil dan kebenaran formil yang ada. Putusan hakim atas perkara yang merugikan kepentingan umum, seperti kejahatan korupsi, kejahatan kesusilaan, penistaan agama, kejahatan ekonomi dan sebagainya tidak boleh melukai rasa keadilan di masyarakat dan tidak boleh pula mengabaikan norma hukum positif sebagai acuan.
Hilangnya keadilan hukum atau tidak adanya kepastian hukum merupakan musibah yang tidak boleh dibiarkan terjadi dalam kehidupan masyarakat. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan wibawa aparat penegak hukum akan berjalan simetris dengan penegakan hukum yang menjamin rasa keadilan di masyarakat.
Hakim dalam mengadili dan memutus perkara tidak boleh terpengaruh oleh unsur-unsur di luar wilayah hukum. Hakim tidak perlu tunduk pada tekanan dan opini publik ketika mengadili dan memutus suatu perkara. Hakim dan seluruh penegak hukum harus merdeka dari intervensi kekuasaan pemerintah dan kepentingan politik.
Seorang hakim harus memiliki mental-spiritual yang memungkinkannya bertindak adil dan jujur. Dalam khazanah fiqih ditegaskan hakim tidak boleh memutus perkara dalam keadaan marah. Seorang yang memegang jabatan hakim harus memiliki karakter yang tegas dan berani menolak godaan dan tekanan dari mana pun untuk menyimpang dari garis keadilan.
Dalam sejarah umat Islam dimasa lalu terdapat riwayat pada zaman Ahmad bin Toulun di Mesir dan di zaman Daulah Fathimiyah, negara menetapkan gaji hakim menurut ukuran yang tinggi. Misalnya di zaman Ibnu Toulun gaji hakim sebesar 1.000 dinar emas sebulan, dan di zaman Daulah Fathimiyah di Mesir gaji hakim ditetapkan 1.200 dinar emas sebulan atau setara 3.000 US Dollar sekarang.
Dengan gaji dan fasilitas yang layak semestinya tidak ada hakim yang tergiur menerima suap. Tetapi di masa kini karena pengaruh kehidupan materialistis yang melahirkan keserakahan, maka kesejahteraan materi tidak menjamin oknum hakim kebal terhadap suap. Praktek “mafia peradilan” yang melibatkan oknum hakim di negara kita muncul bukan karena kesejahteraan hakim yang rendah, tapi akibat keserakahan. Pada akhirnya harapan pencari keadilan dipertaruhkan pada kekuatan mental-spiritual hakim dalam menegakkan keadilan dan kesetiaannya terhadap kebenaran sebagai sifat manusia yang bertakwa kepada Tuhan.
Semata-mata adanya penegak hukum yaitu hakim, jaksa dan polisi, belum menjamin tegaknya hukum dan keadilan di negeri ini. Kalau kita perhatikan nilai-nilai Islam sebagaimana dikemukakan oleh Mohammad Natsir dalam buku Demokrasi Di Bawah Hukum (1987) nyata Islam telah meletakkan dasar-dasar untuk menegakkan keadilan dan rule of law yaitu: (1) hukum berdaulat atas semua warga negara maupun penguasa, semua sama, sederajat di hadapan hukum. (2) Hakim merdeka, tidak boleh dipengaruhi oleh siapa pun. Kedaulatan hukum dan kemerdekaan hakim merupakan dasar utama. Dalam perspektif Islam, hukum bukanlah titik tolak dalam pembinaan masyarakat, akan tetapi pengawal batas yakni supaya batas antara yang hak dan bathil jangan terlanggar. Dalam kaitan ini ajaran Islam menitik-beratkan pembinaan jiwa dan moral manusia sebagai subyek hukum. **
*
*
Komentar
Posting Komentar