Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam menetapkan bahwa peradilan syariat di NAD akan dijalankan oleh sebuah lembaga dalam hal ini Mahkamah Syar’iyah.[1]
Dalam melaksanakan kewenangannya Mahkamah Syar’iyah akan melaksanakan kewenangan yang tadinya dilaksanakan oleh Pengadilan Agama, dengan demikian perkara yang tadinya diselesaikan oleh Pengadilan Agama, sekarang menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah. Pengakuan pemberian kewenangan kepada Mahkamah Syar’iyah untuk menjalankan syariat juga diatur dalam Pasal 128 ayat (2) Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menyebutkan: “Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh.” Adapun tugas dan fungsi dari Mahkamah Syar’iyah meliputi tugas dan fugsi di bidang justisial dan bidang non justisial.
Di bidang justisial Mahkamah Syar’iyah mempunyai tugas untuk menerima, memeriksa, dan menyelesaikan perkara antar orang Islam di bidang al-ahwal al-syakhshiyah(hukum keluarga), muamalah (perdata) dan jinayah (pidana) Pasal 49 Qanun No 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. Perkara bidang al-ahwal al-syakhshiyah meliputi masalah perkawinan, kewarisan dan wasiat[2]. Bidang muamalah antaranya meliputi masalah jual beli, utang-piutang, qiradh (permodalan), bagi hasil, pinjam meminjam, perkongsian, wakilah, penyitaan, gadai, sewa menyewa, perburuhan. Untuk perkara jinayah termasuk perbuatan yang dapat diancam dengan jenis hukuman hudud, qishas, dan ta’zir. Di bidang jinayah kita telah mempunyai tiga qanun jinayah yaitu:
- Qanun No 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan sejenisnya.
- Qanun No 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian).
- Qanun No 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum).
Pelaksanaan tugas dan fungsi di bidang non yustisial meliputi pengawasan terhadap jalannya Mahkamah Syar’iyah (Pasal 52 Qanun No 10 Tahun 2002). Mahkamah Syar’iyah juga mempunyai tugas memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada bulan tahun Hijriah (Pasal 52 A, UU No 3 Tahun 2006). Selain itu, menyaksikan pengangkatan gubernur/wakil gubernur, dan bupati/wakil bupati serta memberi nasehat dan pertimbangan hukum bagi lembaga pemerintahan yang memerlukan (bila diminta).
Tugas pokok pengadilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman adalah menerima, memeriksa, serta mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya. Pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili ditentukan oleh kewenangan mengadili dari setiap pengadilan tersebut, baik itu menyangkut dengan kewenangan mengadili secara absolute maupun relatif.
Setiap badan peradilan yang ada di Indonesia mempunyai batas kewenagan masing-masing dalam mengadili, begitu halnya untuk Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darusssalam. Dalam Pasal 128 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh disebutkan Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh. Pasal ini mengandung dua asas yaitu asas personalitas keislaman dan asas teritorial yang akhirnya melahirkan empat pedoman dalam memperlakukan Hukum Syar’iyah yaitu[3]:
- Untuk masyarakat muslim NAD yang melakukan tindak pidana di NAD secara otomatis Hukum Islam (qanun) diperlakukan bagi mereka.
- Untuk masyarakat muslim lainnya (masyarakat muslim bukan Aceh) yang melakukan tindak pidana di NAD tetap diberlakukan Hukum Islam.
- Untuk masyarakat NAD non muslim yang melakukan tindak pidana di NAD ataupun di luar NAD tidak diperlakukan Hukum Islam sama sekali.
- Untuk masyarakat muslim NAD yang melakukan tindak pidana di NAD juga tidak diberlakukan Hukum Islam.
Lebih lanjut untuk melihat Kewenangan mengadili MS harus dilihat Pasal 3 ayat (1) UU No 11 Tahun 2003 menyebutkan:
“Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Propinsi adalah kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama dan pengadilan Tinggi Agama, ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syiar Islam yang ditetapkan dalam qanun”.
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang Pelimpahan sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar’iyah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor : KMA/070/SK/X/2004 mengatur melimpahkan sebagian kewenangan Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar’iyah dalam perkara-perkara muamalat dan jinayah yang ditetapkan dalam qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hanya saja untuk perkara muamalat belum ada qanun yang mengatur, sehingga perkara muamalat yang diselesaikan di Mahkamah Syar’iyah sampai hari ini lebih kepada perkara-perkara yang tadinya merupakan kewenangan peradilan Agama.[4]
Komentar
Posting Komentar