Kedua calon berharap tidak dijatuhi sanksi oleh MA.
Salah seorang calon hakim agung (CHA) dari jalur karier, Binsar Gultom (Hakim Pengadilan Negeri Bengkulu) mengaku siap dengan risiko dikenai sanksi oleh Mahkamah Agung (MA) akibat pencalonannya sebagai hakim agung yang mendaftar lewat jalur nonkarier. Hal itu disampaikan Binsar saat mengikuti wawancara terbuka seleksi CHA di Kantor Komisi Yudisial (KY) di hari keenam, Senin (30/4).
“Pencalonan saya sebagai hakim agung juga amanah, tentunya saya sudah siap risiko untuk dijatuhi sanksi. Tetapi, mudah-mudahan ini tidak terjadi,“ kata Binsar saat menjawab pertanyaan salah satu panelis, komisioner KY Abbas Said.
Seperti diketahui, ada 10 CHA dari jalur nonkarier. Dua diantaranya hakim pengadilan negeri yaitu Eddy Parulian Siregar (Hakim PN Sidoarjo) dan Binsar M Gultom. Pencalonan dua hakim karier yang mendaftar di jalur nonkarier itu menyebabkan Ketua MA Harifin A Tumpa telah menerbitkan surat bernomor 173/KMA/HK.01/XII/2011 tertanggal 30 Desember 2011 perihal Pencalonan Hakim Agung.
“Pencalonan saya sebagai hakim agung juga amanah, tentunya saya sudah siap risiko untuk dijatuhi sanksi. Tetapi, mudah-mudahan ini tidak terjadi,“ kata Binsar saat menjawab pertanyaan salah satu panelis, komisioner KY Abbas Said.
Seperti diketahui, ada 10 CHA dari jalur nonkarier. Dua diantaranya hakim pengadilan negeri yaitu Eddy Parulian Siregar (Hakim PN Sidoarjo) dan Binsar M Gultom. Pencalonan dua hakim karier yang mendaftar di jalur nonkarier itu menyebabkan Ketua MA Harifin A Tumpa telah menerbitkan surat bernomor 173/KMA/HK.01/XII/2011 tertanggal 30 Desember 2011 perihal Pencalonan Hakim Agung.
Dalam surat itu, MA mengimbau para hakim yang mendaftarkan CHA melalui jalur nonkarier mengundurkan diri sebagai hakim. Namun, hingga kini keduanya belum menyatakan mengundurkan diri sebagai hakim dan mereka tetap “nekad” mengikuti tahapan seleksi CHA. MA pun belum memberikan teguran apapun terhadap keduanya.
Binsar mengaku sebelum mendaftar seleksi CHA telah mendapat izin secara lisan dari pimpinan MA yakni mantan Ketua MA Harifin A Tumpa, Abdul Kadir Mappong, dan M. Hatta Ali. Bahkan, Ketua Muda Perdata Atja Sondjaja dan Ketua Pengadilan Tinggi Bengkulu telah memberikan surat rekomendasi dan izin atas pencalonannya sebagai hakim agung. “Mereka mempersilakan saya mendaftar seleksi CHA lewat jalur nonkarier,“ akunya.
Ditegaskan Binsar, jabatan hakim agung merupakan posisi puncak bagi seorang hakim dan ini merupakan hak seorang hakim. “Daripada 'orang luar' (nonkarier) yang diloloskan lebih baik 'orang dalam' (karier). Biar begini saya punya pengalaman beracara,” ujar hakim yang juga tercatat sebagai Dosen di FH Universitas Prof Hazairin Bengkulu ini sejak 1991 ini.
Selain berprofesi sebagai hakim dan dosen, Binsar diketahui juga menjalani bisnis jual beli mobil yang keuntungannya berkisar Rp10-15 juta per mobil. “Kalau tidak menjalani bisnis ini, anak saya kemungkinan tidak bisa kuliah. Sekarang ada yang sudah menjadi dokter. Tetapi, sebenarnya bisnis jual beli mobil ini, istri saya yang banyak peranan, yang sekarang ini penjualannya sepi,” ujar pria yang sudah berpengalaman sebagai hakim selama 16 tahun ini.
Makanya, tak heran ia memiliki sejumlah harta kekayaan yang cukup banyak. Seperti, rumah di Bengkulu seharga Rp300 jutaan, tanah di Medan sekitar 500 meter persegi, rumah di Jakarta seharga Rp850 juta, dan tiga buah mobil. “Tetapi, satu mobilnya yang masih status kredit buat anak saya. Saya hanya bayarin uang mukanya saja,” akunya.
Dalam wawancara ini, Binsar terungkap pernah dijatuhi disiplin sedang berupa pencopotan dari jabatannya sebagai Ketua PN Simalungun menjadi hakim PN Bengkulu karena dinilai pernah mengintervensi suatu kasus, sehingga dianggap tidak mampu memimpin pengadilan. “Saya mengajukan keberatan ke MA. Akhirnya sanksi ini diubah, pelanggaran disiplinnya dianggap tidak ada, ini hanya mutasi biasa ke PN Bengkulu,” ujarnya mengklarifikasi.
Diancam dipecat
Lain halnya dengan Binsar, sebelumnya Eddy Parulian Siregar mengaku justru pernah diancam oleh pimpinan MA. “Mohon maaf saya pernah diancam akan dipecat dan akan disiapkan 'lobang yang besar',” kata Edy beberapa waktu lalu.
Meski demikian, ia berharap MA tidak memberinya sanksi lantaran pencalonannya sebagai hakim agung yang mendaftar lewat jalur nonkarier. “Saya berharap tidak ditindak oleh pimpinan MA karena tidak ada hal yang dilanggar. Tetapi, kalaupun saya ditindak saya siap menjalani takdir saya karena sampai sekarang istri saya berpuasa,“ ujar pria yang berpenghasilan tujuh juta sebulan ini.
Eddy berpendapat, surat Ketua MA bernomor 173/KMA/HK.01/XII/2011 tertanggal 30 Desember 2011 seharusnya tidak berlaku surut. Sebab, dirinya mendaftar seleksi CHA pada tanggal 21 Desember 2011 yang merupakan hari terakhir pendaftaran seleksi administratif. Kalau surat itu berlaku surut seharusnya Hakim Agung Dudu Duswara mundur sebagai hakim agung karena dia juga hakim (adhoc) pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Tipikor).
“Kenapa saya sebagai 'anak kandung' disuruh mundur, sementara Dudu Duswara justru dilantik? Ini sebenarnya sering dibicarakan sesama hakim yang berpendidikan (doktor), kenapa dosen atau akademisi bisa mengkavling di MA? Kenapa kita yang bergelar doktor tidak bisa?” protesnya. (http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f9e4ea2bf4fb/curhat-hakim-pn-yang-ikut-seleksi-hakim-agung)
Komentar
Posting Komentar