Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.
Dalam kapasitasnya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum materil maka KUHAP sebagai hukum formil telah memiliki sistem pembuktian tersendiri yang mengacu pada alat bukti yang sah sebagaimana diterangkan dalam pasal 184 KUHAP, yaitu yang dimaksud alat bukti yang sah adalah : a).keterangan saksi ; b).keterangan ahli ; c). surat ; d). petunjuk dan e). keterangan terdakwa.
Sedangkan istilah ’saksi mahkota’ tidak terdapat dalam KUHAP. Walaupun dalam KUHAP tidak ada definisi otentik mengenai ’saksi mahkota’ (kroon getuide) namun dalam praktik dan berdasarkan perspektif empirik saksi mahkota itu ada. Di sini yang dimaksud ”saksi mahkota” didefinisikan adalah ;”saksi yang berasal dan/atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota.
Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan saksi tersebut”. Dan saksi mahkota ini hanya ada dalam perkara pidana yang merupakan delik penyertaan.
Pengaturan mengenai ’saksi mahkota’ ini pada awalnya diatur di dalam pasal 168 KUHAP, yang prinsipnya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Kemudian dalam perkembangannya, maka tinjauan pemahaman (rekoqnisi) tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990.
Dalam Yurisprudensi tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Agung RI tidak melarang apabila Jaksa/Penuntut Umum mengajukan saksi mahkota dengan sarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Dan dalam Yurisprudensi tersebut juga disebutkan bahwa definisi saksi mahkota adalah, ”teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum, yang perkaranya dipisah karena kurangnya alat bukti”.
Jadi disini penggunaan saksi mahkota ”dibenarkan’ didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yaitu, 1) dalam perkara delik penyertaan ; 2). terdapat kekurangan alat bukti ; dan 3). Diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing); adapun dalam perkembangannya terbaru Mahkamah Agung RI memperbaiki kekeliruannya dengan mengeluarkan pendapat terbaru tentang penggunaan ’saksi mahkota’ dalam suatu perkara pidana, dalam hal mana Mahkamah Agung RI kembali menjelaskan bahwa ”penggunaan saksi mahkota adalah bertentangan dengan KUHAP yang menjunjung tinggi HAM” (lihat : Yurisprudensi : MARI, No. 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 ; MARI, No.1952 K/Pid/1994, tanggal 29 April 1995 ; MARI, No. 1950 K/Pid/1995, tanggal 3 Mei 1995 ; dan MARI, No. 1592 K/Pid/1995, tanggal 3 Mei 1995.
Adanya penggunaan saksi mahkota yang terus berlangsung sampai sekarang ini harus segera dihentikan, karena pasti menimbulkan permasalahan yuridis. Adanya alasan klasic yang dikemukakan Penuntut Umum, bahwa untuk memenuhi dan mencapai rasa keadilan publik sebagai dasar argumentasi diajukannya saksi mahkota bukan merupakan hal yang menjustifikasi penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti sudah tidak bisa ditoleransi lagi.
Secara normatif penggunaan saksi mahkota merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dan juga merupakan pelanggaran kaidah HAM secara universal sebagaimana yang diatur dalam KUHAP itu sendiri, khususnya hak ingkar yang dimiliki terdakwa terdakwa dan hak terdakwa untuk tidak dibebankan kewajiban pembuktian (vide pasal 66 KUHAP), di samping itu juga penggunaan ’saksi mahkota’ oleh Penuntut Umum selama ini jelas melanggar instrumen hak asasi manusia secara internasional ( International Covenant on Civil and Political Right ). Mengakhiri tulisan ini perlu penulis sarankan kepada kita sebagai penegak hukum sbb :
1) Penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana haruslah ditinjau kembali untuk segera diakhiri, karena bertentangan dengan esensi Hak Asasi manusia (HAM), khususnya hak asasi terdakwa ;
2) Marilah kita mendukung implimentasi prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dengan berupaya mencari solusi untuk menggantikan penggunaan alat bukti ’saksi mahkota’ demi mewujudkan proses peradilan yang sesuai dengan kaidah-kaidah yang terdapat dalam KUHAP dan mewujudkan rasa keadilan masyarakat luas (publik) ;
Dalam kapasitasnya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum materil maka KUHAP sebagai hukum formil telah memiliki sistem pembuktian tersendiri yang mengacu pada alat bukti yang sah sebagaimana diterangkan dalam pasal 184 KUHAP, yaitu yang dimaksud alat bukti yang sah adalah : a).keterangan saksi ; b).keterangan ahli ; c). surat ; d). petunjuk dan e). keterangan terdakwa.
Sedangkan istilah ’saksi mahkota’ tidak terdapat dalam KUHAP. Walaupun dalam KUHAP tidak ada definisi otentik mengenai ’saksi mahkota’ (kroon getuide) namun dalam praktik dan berdasarkan perspektif empirik saksi mahkota itu ada. Di sini yang dimaksud ”saksi mahkota” didefinisikan adalah ;”saksi yang berasal dan/atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota.
Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan saksi tersebut”. Dan saksi mahkota ini hanya ada dalam perkara pidana yang merupakan delik penyertaan.
Pengaturan mengenai ’saksi mahkota’ ini pada awalnya diatur di dalam pasal 168 KUHAP, yang prinsipnya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Kemudian dalam perkembangannya, maka tinjauan pemahaman (rekoqnisi) tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990.
Dalam Yurisprudensi tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Agung RI tidak melarang apabila Jaksa/Penuntut Umum mengajukan saksi mahkota dengan sarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Dan dalam Yurisprudensi tersebut juga disebutkan bahwa definisi saksi mahkota adalah, ”teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum, yang perkaranya dipisah karena kurangnya alat bukti”.
Jadi disini penggunaan saksi mahkota ”dibenarkan’ didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yaitu, 1) dalam perkara delik penyertaan ; 2). terdapat kekurangan alat bukti ; dan 3). Diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing); adapun dalam perkembangannya terbaru Mahkamah Agung RI memperbaiki kekeliruannya dengan mengeluarkan pendapat terbaru tentang penggunaan ’saksi mahkota’ dalam suatu perkara pidana, dalam hal mana Mahkamah Agung RI kembali menjelaskan bahwa ”penggunaan saksi mahkota adalah bertentangan dengan KUHAP yang menjunjung tinggi HAM” (lihat : Yurisprudensi : MARI, No. 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 ; MARI, No.1952 K/Pid/1994, tanggal 29 April 1995 ; MARI, No. 1950 K/Pid/1995, tanggal 3 Mei 1995 ; dan MARI, No. 1592 K/Pid/1995, tanggal 3 Mei 1995.
Adanya penggunaan saksi mahkota yang terus berlangsung sampai sekarang ini harus segera dihentikan, karena pasti menimbulkan permasalahan yuridis. Adanya alasan klasic yang dikemukakan Penuntut Umum, bahwa untuk memenuhi dan mencapai rasa keadilan publik sebagai dasar argumentasi diajukannya saksi mahkota bukan merupakan hal yang menjustifikasi penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti sudah tidak bisa ditoleransi lagi.
Secara normatif penggunaan saksi mahkota merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dan juga merupakan pelanggaran kaidah HAM secara universal sebagaimana yang diatur dalam KUHAP itu sendiri, khususnya hak ingkar yang dimiliki terdakwa terdakwa dan hak terdakwa untuk tidak dibebankan kewajiban pembuktian (vide pasal 66 KUHAP), di samping itu juga penggunaan ’saksi mahkota’ oleh Penuntut Umum selama ini jelas melanggar instrumen hak asasi manusia secara internasional ( International Covenant on Civil and Political Right ). Mengakhiri tulisan ini perlu penulis sarankan kepada kita sebagai penegak hukum sbb :
1) Penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana haruslah ditinjau kembali untuk segera diakhiri, karena bertentangan dengan esensi Hak Asasi manusia (HAM), khususnya hak asasi terdakwa ;
2) Marilah kita mendukung implimentasi prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dengan berupaya mencari solusi untuk menggantikan penggunaan alat bukti ’saksi mahkota’ demi mewujudkan proses peradilan yang sesuai dengan kaidah-kaidah yang terdapat dalam KUHAP dan mewujudkan rasa keadilan masyarakat luas (publik) ;
Komentar
Posting Komentar