Dikaji dalam disertasi Gunardi, lulusan pertama program doktor ilmu hukum Universitas Tarumanagara.
BERITA TERKAIT
Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2015 mencatat ada 50 perkara kasasi kepailitan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Agung, setara dengan 5,85 persen dari 854 perkara perdata khusus yang masuk tahun itu. Jumlah peninjauan kembali (PK) lebih kecil, yakni ‘hanya’ 23 perkara yang masuk. Meskipun angkanya kecil, kepailitan berada pada nomor urut kedua terbanyak setelah perkara hubungan industrial yang dimohonkan PK.
Gunardi, mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara (FH Untar) Jakarta, mencoba mengkaji bagaimana penalaran hakim-hakim niaga dalam memutus perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Pria kelahiran 25 Maret 1959 itu berhasil mempertahankan hasil kajiannya di hadapan Senat FH Untar, Selasa (19/7).
Mempertahankan disertasi ‘Penalaran Hukum Hakim Pengadilan Niaga Menurut Sistem Peradilan Indonesia’, Gunardi menjadi doktor ilmu hukum pertama sejak Universitas ini membuka program doktor ilmu hukum. Tim penguji terdiri dari Prof. Abdul Gani, Susanti Adi Nugroho, Prof. K. Martono, Prof. Valerine JL Kriekhoff, Prof. M. Saleh, dan Prof. Takdir Rahmadi. Susanti, Valerine, dan Saleh adalah penguji yang pernah duduk sebagai hakim agung dan menangani perkara kepailitan. Takdir malah masih menjabat sebagai hakim agung.
Untuk melihat pola penalaran hakim, Gunardi memang tak membaca seluruh putusan perkara kepailitan dan PKPU yang sudah diunggah Mahkamah Agung. Tetapi ia mengambil beberapa sampel putusan untuk tingkat Pengadilan Niaga (judex facti), tingkat kasasi (judex juris), dan tingkat PK. Dari putusan-putusan itu Gunardi lantas membuat variasi putusan hakim.
Bagaimana hasilnya? Dari 21 putusan Pengadilan Niaga, 13 permohonan pailit dikabulkan karena sudah sesuai dengan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 permohonan kepailitan ditolak, dan 1 permohonan PKPU dikabulkan. Analisis hakim yang menggunakan pola sesuai tidaknya permohonan dengan UU Kepailitan dikategorikan sebagai penalaran yang dogmatik hukum (yuridis dogmatic). Keadilan yang dikembangkan hakim dalam pertimbangan adalah keadilan hukum yang berkepastian dan kepastian hukum yang berkemanfaatan.
Di tingkat kasasi, Gunardi mengkaji 19 putusan. Variasi putusan paling banyak adalahjudex facti salah dan kasasi diterima (10), disusul judex facti benar sehingga kasasi ditolak (6), judex facti salah tapi kasasi ditolak (2), atau judex facti benar tapi kasasi diterima (1). Hakim agung yang memutus perkara kepailitan di tingkat kasasi ternyata tak semata melihat sesuai tidaknya dengan UU Kepailitan, tetapi juga sudah menggunakan teori-teori hukum kepailitan. Penalaran hakim yang demikian disebut yuridis-filosofis. Di sini, hakim lebih menekankan pada keadilan moral hukum (legal moral justice).
Di tingkat PK, Gunardi mengkaji 15 putusan. Variasi putusan PK ternyata lebih banyak dibandingkan putusan kasasi. Hakim PK menggunakan dasar novum (bukti baru) atau kekhilafan hakim untuk memutus permohonan PK. Setelah meneliti kelima belas putusan PK, Gunardi berkesimpulan penalaran hakim PK sudah bersifat yuridis-sosiologis-fungsional. “Penuh dengan pertimbangan teori hukum,” tandas Gunardi dalam ringkasan disertasinya. Hakim PK mengedepankan keadilan hukum sosial (legal social justice).
Asas dan prinsip hukum
Berdasarkan pembagian tingkatan pengadilan niaga, Gunardi menyimpulkan tiga asas dan prinsip hukum yang diterapkan hakim dalam pertimbangan hakim.
Pertama, pada tingkat pertama di Pengadilan Niaga, asas dan prinsip hukum yang diterapkan hakim tentang persyaratan utang, putusan pailit tidak dapat dijatuhkan terhadap debitor yang masih solven, putusan pailit harus disetujui oleh para kreditor mayoritas, dan keadaan diam. Selain itu dipakai juga asas pengakuan hak separatis kreditor pemegang hak jaminan, proses pailit tidak panjang, dan proses pailit terbuka untuk umum.
Selanjutnya, kedua, pada tingkat kasasi, hakim lebih mempertimbangkan asas keseimbangan, keadilan, restrukturisasi utang bagi debitor prospektif, paritas creditorium,pari passu prorate parte, dan structural creditors.
Ketigadi tingkat PK, hakim agung banyak mempertimbangkan prinsip kelangsungan usaha, integrasi, mendorong investasi dan bisnis, memberikan manfaat dan perlindungan, dan pengurus perusahaan pailit harus bertanggung jawab secara pribadi. Prinsip lain yang dipakai adalah perbuatan merugikan harta pailit adalah tindak pidana, debt collection, debt pooling, debt forgiveness, serta asas universal dan teritorial. (http://www.hukumonline.com/)
Gunardi, mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara (FH Untar) Jakarta, mencoba mengkaji bagaimana penalaran hakim-hakim niaga dalam memutus perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Pria kelahiran 25 Maret 1959 itu berhasil mempertahankan hasil kajiannya di hadapan Senat FH Untar, Selasa (19/7).
Mempertahankan disertasi ‘Penalaran Hukum Hakim Pengadilan Niaga Menurut Sistem Peradilan Indonesia’, Gunardi menjadi doktor ilmu hukum pertama sejak Universitas ini membuka program doktor ilmu hukum. Tim penguji terdiri dari Prof. Abdul Gani, Susanti Adi Nugroho, Prof. K. Martono, Prof. Valerine JL Kriekhoff, Prof. M. Saleh, dan Prof. Takdir Rahmadi. Susanti, Valerine, dan Saleh adalah penguji yang pernah duduk sebagai hakim agung dan menangani perkara kepailitan. Takdir malah masih menjabat sebagai hakim agung.
Untuk melihat pola penalaran hakim, Gunardi memang tak membaca seluruh putusan perkara kepailitan dan PKPU yang sudah diunggah Mahkamah Agung. Tetapi ia mengambil beberapa sampel putusan untuk tingkat Pengadilan Niaga (judex facti), tingkat kasasi (judex juris), dan tingkat PK. Dari putusan-putusan itu Gunardi lantas membuat variasi putusan hakim.
Bagaimana hasilnya? Dari 21 putusan Pengadilan Niaga, 13 permohonan pailit dikabulkan karena sudah sesuai dengan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 permohonan kepailitan ditolak, dan 1 permohonan PKPU dikabulkan. Analisis hakim yang menggunakan pola sesuai tidaknya permohonan dengan UU Kepailitan dikategorikan sebagai penalaran yang dogmatik hukum (yuridis dogmatic). Keadilan yang dikembangkan hakim dalam pertimbangan adalah keadilan hukum yang berkepastian dan kepastian hukum yang berkemanfaatan.
Di tingkat kasasi, Gunardi mengkaji 19 putusan. Variasi putusan paling banyak adalahjudex facti salah dan kasasi diterima (10), disusul judex facti benar sehingga kasasi ditolak (6), judex facti salah tapi kasasi ditolak (2), atau judex facti benar tapi kasasi diterima (1). Hakim agung yang memutus perkara kepailitan di tingkat kasasi ternyata tak semata melihat sesuai tidaknya dengan UU Kepailitan, tetapi juga sudah menggunakan teori-teori hukum kepailitan. Penalaran hakim yang demikian disebut yuridis-filosofis. Di sini, hakim lebih menekankan pada keadilan moral hukum (legal moral justice).
Di tingkat PK, Gunardi mengkaji 15 putusan. Variasi putusan PK ternyata lebih banyak dibandingkan putusan kasasi. Hakim PK menggunakan dasar novum (bukti baru) atau kekhilafan hakim untuk memutus permohonan PK. Setelah meneliti kelima belas putusan PK, Gunardi berkesimpulan penalaran hakim PK sudah bersifat yuridis-sosiologis-fungsional. “Penuh dengan pertimbangan teori hukum,” tandas Gunardi dalam ringkasan disertasinya. Hakim PK mengedepankan keadilan hukum sosial (legal social justice).
Asas dan prinsip hukum
Berdasarkan pembagian tingkatan pengadilan niaga, Gunardi menyimpulkan tiga asas dan prinsip hukum yang diterapkan hakim dalam pertimbangan hakim.
Pertama, pada tingkat pertama di Pengadilan Niaga, asas dan prinsip hukum yang diterapkan hakim tentang persyaratan utang, putusan pailit tidak dapat dijatuhkan terhadap debitor yang masih solven, putusan pailit harus disetujui oleh para kreditor mayoritas, dan keadaan diam. Selain itu dipakai juga asas pengakuan hak separatis kreditor pemegang hak jaminan, proses pailit tidak panjang, dan proses pailit terbuka untuk umum.
Selanjutnya, kedua, pada tingkat kasasi, hakim lebih mempertimbangkan asas keseimbangan, keadilan, restrukturisasi utang bagi debitor prospektif, paritas creditorium,pari passu prorate parte, dan structural creditors.
Ketigadi tingkat PK, hakim agung banyak mempertimbangkan prinsip kelangsungan usaha, integrasi, mendorong investasi dan bisnis, memberikan manfaat dan perlindungan, dan pengurus perusahaan pailit harus bertanggung jawab secara pribadi. Prinsip lain yang dipakai adalah perbuatan merugikan harta pailit adalah tindak pidana, debt collection, debt pooling, debt forgiveness, serta asas universal dan teritorial. (http://www.hukumonline.com/)
Komentar
Posting Komentar